Februari, hujan turun
dengan derasnya, aku membuka mata karena suara hujan yang membangunkan,
matahari belum menandakan akan muncul dengan segera.
“Hey! apakah dia masih belum bangun ? apakah dia lupa tugasnya untuk menyinari bumi
? apakah karena dia sendirian, dia merasa bosan untuk menyinari bumi?”
Apa pun alasan dia,
aku tidak mau tahu! Itu bukan urusanku. Cepatlah hujan ini reda, jika terus seperti ini, aku akan
terlambat datang ke sekolah, karena jarak dari rumah ke sekolah yang lumayan
jauh. Untuk itu menghabiskan waktu hampir satu jam , aku harus naik dua kali
angkutan umum bila ingin sampai ke sekolah, untung saja sekarang aku akan naik
motor, jadi bisa menghemat waktu sampai 30 menit. Terlebih lagi aku trauma jika
datang terlambat ke sekolah, aku lebih baik tidak sekolah dari pada terlambat.
Aku akan terkena hukuman dan tertahan di gerbang depan sekolah. Aku merasa bila
aku terlambat, orang-orang akan memperhatikanku, melihat dengan tatapan tajam
ke arahku, entah itu tatapan bahagia, sedih atau marah. Entahlah!. Selain tertahan di gerbang, aku pasti disuruh
memungut sampah yang berserakan di sekolah, miriplah aku dengan petugas
kebersihan. Belum, belum sampai disitu penderitaanku, tugas paling berat bagi
seorang siswa adalah menulis, betul saja, aku akan disuruh menulis dan berjanji
pada secarik kertas.
“Aku berjanji bahwa
aku tidak akan datang terlambat ke sekolah lagi” begitulah kata-kata yang harus
aku tuliskan, dengan sabar, sambil ditemani, aku menuliskannya dengan penuh
perasaan. Itulah pengalaman berharga sehingga aku menjadi trauma datang
terlambat, itu tidak akan ku ulangi lagi, cukup satu kali! .
Hujan pun semakin
deras, aku menjadi pasrah dibuatnya, lebih baik merapatkan diri dengan selimut
yang menghangatkan itu. Mata sengaja ku pejamkan, aku ingin tidur lagi, tetapi
hati menjadi gelisah. Muncul pertanyaan-pertanyan asing dalam hati, “Bagaimana bila nanti ibu menayakan, kenapa
tidak sekolah ? akankah aku berbohong, ku jawab saja aku sedang sakit, tapi
sakit apa ?” lalu ada bisikan-bisikan
aneh yang menjawabnya, bisikan itu berkata. “katakan saja kamu sedang sakit, ya
sakit hati, dibohongi oleh kekasih kecilmu, dia bersandiwara dihadapan dan
dibelakangmu hingga 2 tahun lamanya, itulah yang menyebabkan kamu sakit
sehingga kamu malas berangkat sekolah”.
Belum sempat ku jawab, lalu ada bisikan lain yang terlebih dahulu
membalasnya. “Apa kata dunia ? jangan katakan itu, kamu ini seorang laki-laki,
seorang arjuna, pantang bagimu mengatakan curahan hati seperti itu. Biar saja
hanya Sang pencipta lah yang mengetahui dan untuk dia, semoga cepat sadar akan
perlakuannya terhadapmu”. itulah bisikan
aneh yang terakhir.
Ketika aku hendak menarik selimut, tak lama
aku ingat, bahwa hari ini adalah hari minggu, oh betapa bahagianya aku, tidak
ada perasaan takut lagi datang terlambat ke sekolah. Lalu aku berbisik dalam hati. “Wahai sang
mentari, kini kau hanya punya dua pilihan untukku, yang pertama kau boleh tidak
bersinar hari ini dan memilih menemaniku di tempat tidur, atau yang kedua, kau memilih menyinari bumi sekaligus
menyinari hatiku yang sedang mendung ini”.
Setelah itu aku tertidur kembali.
Sreng- sreng- sreng!
Suara yang terdengar dari arah dapur, aku jadi terbangun, apakah Ibu sedang
menyiapkan sarapan untukku ? Bukan, ini bukan hari minggu. Hari ini adalah hari
senin, aku harus bergegas berangkat sekolah sekaligus menjual nasi bungkus dan
gorengan buatan Ibuku. Ya aku sekolah sambil berjualan.
Hari masih saja hujan, seperti kemarin langit
masih menangis, aku jadi bingung karenanya. Haruskah aku senang ? karena tidak
ada upacara senin ini, atau harus sedih
karena tidak akan mendapat nasehat dari Ibu Bapak guru ketika upacara ?
sudahlah, yang jelas aku harus segera
berangkat sekolah .
Sambil dibantu oleh
tetangga, aku mengemas nasi bungkus dan gorengan yang siap di jual ke dalam kardus,
karena ibu sedang hamil empat bulan saat itu, Ibu meminta tetangga untuk
membantunya. Singkatnya aku berangkat sekolah dengan menggunakan motor, setelah
sebelumnya sarapan bersama dengan mereka, 40-60 bungkus biasanya nasi yang ku bawa ke sekolah. Lalu di tengah jalan
aku lupa tidak mengisi bensin dan akhirnya motor pun mogok. Aku takut terlambat datang ke sekolah karena
bagaimana nanti aku bisa menjual nasi bungkus dan gorengan buatan ibu ? tentu ibu akan kecewa nantinya.
Ya, aku tidak bisa
terus meratapi kenyataan ini. Ada mentari kecil yang menyinari dalam hati, yang berpesan agar
aku jangan mudah putus asa, teruslah bersikap positif. Aku lalu mengambil
tindakan, aku bergerak mendorong motor sambil mencari penjual bensin eceran. Saat
itu hujan, aku begitu sedih dan merasakan arti pengorbanan cinta orang tua
untuk anak-anaknya. Ya Tuhan beginikah rasanya mencari nafkah ? terasa sulit
sekali, maafkan hambaMU yang tidak berbakti kepada keduanya. Tuhan memang maha Adil, tidak jauh aku
mendorong motor, di depan sana ada
penjual bensin lalu aku mengisi bensin dan akhirnya sampailah aku di sekolah
dengan tidak terlambat.
Saat itu aku sudah
duduk di bangku kelas 12 SMA dan sebentar lagi akan melaksanakan ujian akhir
nasional (UAN). Aku berkeliling kelas, menawari pada setiap anak nasi buatan
ibu, bersama teman sebangku. Aku senang sekali ada beberapa guru yang mau
membeli, akhirya tinggal beberapa bungkus nasi saja yang tersisa, maka sengaja
aku memberikannya pada teman-teman di sekolah, sekarang habis sudah semua nasi bungkus dan
gorengan buatan ibu. Sampailah pada waktu bel pulang sekolah berbunyi, aku pulang dengan perasaan bahagia,
sedih, terharu, pokoknya semua perasaan sulit diungkapkan waktu itu. Ya aku pulang menghadap ibu beserta uang hasil
jualanku.
Kenapa aku mau
berjualan ? karena Ayah sedang bertugas di luar kota selama 40 hari. Untuk menambah
biaya kebutuhan sehari-hari dan sekaligus mengasah jiwa kewirausahaan, aku berinisiatif
untuk berjualan di sekolah, walaupun
kadang ada anggapan-anggapan negatif, atau ledekan dari teman-teman, aku tidak
mendengarkannya, aku lakukan demi cinta kepada Orang tua dan keluarga. Begitu pula
dengan Ibu, meski sedang mengandung 4 bulan, ibu rela melakukannya demi cinta
kepada kami. Itulah cinta, dari proses
berjualan tersebut, aku mendapatkan pelajaran berharga tentang cinta.
Atas dasar cinta, ternyata teman-temanku tidak meledekku tetapi mereka malah memberikan dukungannya,
memberi semangat setiap waktu.
Atas dasar cinta, kini aku memahami, betapa besar
pengorbanan orang tua untuk anaknya.
Atas dasar cinta, aku belajar tentang keikhlasan, membuka
mata, siapa orang yang memang begitu mencintaiku dengan tulus.
Atas dasar cinta, semua menjadi indah, memberikan kekuatan
pada orang yang memilikinya.
Untuk menutup cerita
singkat ini, bolehkah aku berbagi puisi tentang cinta ? cinta yang aku alami,
cinta yang aku rasakan dan cinta kita semua.
Cinta......
Cinta itu bukan soal Hati, atau harta dan properti.
Cinta itu bukan soal Pribadi, villa pribadi atau rumah pribadi.
Cinta itu bukan soal wibawa, wi...bawa mobil atau wi....bawa
merci.
Cinta itu bukan soal sekedar, sekedar menyukai seseorang
karena sesuatu.
Tetapi cinta itu.....
Cinta adalah perasaan ingin selalu berbagi, ya berbagi
kebahagiaan.
Cinta adalah ketulusan yang dibuktikan dengan pengorbanan.
Cinta adalah egois yang positif, tak perduli dengan keadaan , akan ada
alasan mengapa kita mau berkorban
untuknya.
Cinta adalah cinta..........
Ahh, kita memang berhak mencintai dan juga dicintai.
Ahh, mungkin kita sendiri lebih tahu tentang arti sebuah
cinta.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah menciptakan cinta untukku,
untuknya dan kami semua.
***
Wuih Bagussss bgt..
ReplyDeleteBanyakin nulis z..
Udh cocok ni dbikin buku..hehe
kata2'a simple..jd ngerti.
Qt gk boleh gengsi wat bntu ortu
Ni asli pengalaman km??
Wuih Bagussss bgt..
ReplyDeleteBanyakin nulis z..
Udh cocok ni dbikin buku..hehe
kata2'a simple..jd ngerti.
Qt gk boleh gengsi wat bntu ortu
Ni asli pengalaman km??
makasih kak, jadi semangat nulis lagi :D iya hehe pengalaman asli :) aamiin, iya mau banget bikin buku :D
ReplyDeleteJd selama 2 tahun dsakitin spa tuh?? Hehe
ReplyDeleteKlo nerbitin buku kabar2n y..
Pst aq lgsg beli ^_^
hehe :D iya kak, gak usah beli nanti buat kak icha mah gratis :)
ReplyDelete