Tuesday 1 April 2014

Boy's Dont Cry

"Laki-laki Enggak Boleh Cengeng"



Ayahku dulu selalu berkata, laki-laki itu tidak boleh
cengeng. Tidak boleh menangis. Karena laki-laki
dilahirkan untuk menjadi pilar kekuatan bagi
perempuan. Bidang dada yang dimiliki,
bukan untuk berguncang karena tangisan, tetapi untuk
menjadi penyandar yang menguatkan dan menenangkan.
Begitu Ayahku selalu berpesan.
Tidak demikian dengan Ibuku. Jika kau ingin menangis,
menangislah. Karena kau manusia, dikaruniai perasaan.
Berbagai macam perasaan bisa kita rasakan. Itulah
kebanggaan kita sebagai manusia. Menangis adalah
ungkapan jujur yang tidak dimiliki mahluk ciptaaan
Tuhan lainnya. Kelak kau akan bisa merasakan, bahwa
menangis tidak selalu menunjukkan kau cengeng atau
lemah. Kau akan
tahu dan merasakan, bahkan ketika kau sedang begitu
menahan amarah
yang meluap pun, kamu bisa menangis.
Karena saat itu kau tahu, meluapkan dengan cara yang
merusak itu bukanlah jawaban dari segala persoalan,
tetapi justru akan
membuatmu tidak bernilai sebagai laki-laki.
Dan jangan lupakan pula, kelak ketika kau sedang
merasakan bahagia yang
membuncah pun, kau pun bisa menitikkan air mata.
“Kamu pikir, Papah kamu nggak nangis ketika pertama
kali menggendong kamu waktu masih bayi?”
Begitu Ibuku bercerita sambil
tersenyum, mencoba makin
meyakinkanku bahwa menangis adalah sebuah hal yang
sangat manusiawi.
Aku tidak memihak kepada siapapun untuk hal ini. Bukan
berarti Ayahku adalah sosok manusia yang tidak
berperasaan. Aku hanya tahu, mereka adalah orang-
orang bijaksana yang selalu berusaha menuntunku untuk
menjadi laki-laki yang baik.
Aku tahu, Ayah dan Ibuku ingin mengatakan bahwa
bagaimanapun laki-laki harus
lebih tegar dari perempuan tanpa harus kehilangan atau
tanpa harus terlihat berlebihan mengumbar
perasaannya.
*
Bohong kalau aku tidak menangis saat itu. Sesaat
setelah aku meminta diri darimu. Dari hubungan cinta
kita.
Sesaat setelah kututup pintu kamar dan kujatuhkan
badanku ke kasur, airmata itu tiba-tiba saja ikut jatuh
tanpa bisa aku cegah, mengalir di kedua pipiku.
Entahlah.
Ada kesedihan yang luar biasa di dalam dadaku.
Kesedihan yang… ah,
entahlah. Aku sendiri bingung
menjelaskannya.
Sedih, tetapi juga sekaligus marah.
Aku marah pada diriku karena aku ternyata menjadi
laki-laki kebanyakan
yang kamu kenal.
Laki-laki yang akhirnya membuatmu menutup diri
dan membuat kesimpulan, bahwa kehadiran kami (laki-
laki) di dunia ini hanyalah serupa hibrida yang
diciptakan untuk mencarut-marut hati perempuan saja.
Laki-laki yang muncul dengan sosok yang terlihat
sempurna, demi bisa
memenangkan hatimu, lalu dengan segala macam daya
upaya meremukkannya disaat aku menginginkannya.
Laki-laki yang dengan perkasa membuat janji,
seolah-olah hanya aku dan kamu saja yang menghuni
setiap jengkal dunia,
tetapi kemudian memilih untuk pergi
begitu muncul rasa bosan, seolah-oleh perempuan
hanyalah permen karet
yang bisa dibuang begitu hilang rasa manisnya.
Ya. Malam itu aku seperti tertampar sendiri.
I am THAT guy.
Akulah laki-laki itu.
Laki-laki yang selama ini selalu kau takutkan.
Laki-laki yang juga selama ini tidak kukira, akan
menjadi salah satu diantaranya.
Aku pun menangis karena malu, tiba- tiba teringat
janjiku padamu saat dulu kita berusaha menegaskan
keberadaan kita satu sama lain.

No comments:

Post a Comment